Banyak kalangan berpendapat bahwa kultur (sosial-budaya) suku Madura selama ini kurang menggembirakan. Karena anggapan itu, orang Madura sering dijadikan anekdot
yang lucu-lucu, bahkan terkadang terkesan seram. Salah satu contohnya
adalah anggapan bahwa orang Madura suka carok dan sulit diajak maju dan
lain-lainnya. Lalu bagaimana sebenarnya karakter etnis Madura ini?
Benarkah carok itu merupakan kebiasaan?
Madura, menurut penelitian A. Latief Wiyata, dosen FISIP Universitas Jember, memang memiliki karakteristik sosial budaya
(sosbud) khas yang dalam banyak hal tidak dapat disamakan dengan
karakteristik sosbud masyarakat etnik lain. Suatu realitas yang tidak
perlu dipungkiri bahwa karakteristik sosbud Madura cenderung dilihat
orang luar lebih pada sisi yang negatif.
Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura
itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain, temperamental
atau gampang marah, pendendam sertasuka melakukan tindakan kekerasan.
Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan
menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan
balasan.
Semua itu, kata Latief,
tidak lebih dari suatu gambaran stereotip belaka. Sebab, kenyataannya,
salah satu karakteristik sosok Madura yang menonjol adalah karakter yang
apa adanya. Artinya, sifat masyarakat etnik ini memang ekspresif,
spontan, dan terbuka, tuturnya ketika menyampaikan makalah Lingkungan Sosial Budaya Madura dalam Seminar Prakarsa Masyarakat dalam Kerangka Pembangunan Daerah Madura di Universitas Bangkalan, beberapa waktu lalu.
Ekspresivitas,
spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa termanifestasikan
ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya terhadap
perlakuan oranglain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat
hati senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan
mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya,
mereka akan spontan bereaksi keras bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.
Contohnya,
suatu ketika di atas kapal feri penyeberangan dari Kamal ke Ujung,
Perak, ada seorang Madura sedang merokok di dalam ruangan ber-AC. Oleh
orang lain, ia ditegur. Apakah orang Madura yang ditegur itu berang?
Ternyata tidak. Spontan ia mematikan rokoknya yang masih cukup panjang
dan dengan keterbukaan ia pun mengaku tidak tahu kalau ada rambu
dilarang merokok.
Nyo’on sapora, sengko’ ta’ tao.
(Minta maaf, saya tidak tahu, Red), katanya dengan ekspresi yang lugu.
Ada pula anekdot yang lucu dan lugu. Misalnya, ketika seorang abang
becak asal Madura berurusan dengan polisi, ia dikatakan goblok karena
melanggar aturan lalu lintas. Tetapi, petugas itu pun akhirnya tertawa
karena mendapat jawaban si abang becak seperti ini. “Wah, Pak Polisi ini
bagaimana, kalau saya pinter, ya ndak mbecak. Tak iya, …”
Dalam
konteks ini berarti bahwa nilai-nilai sosbud Madura membuka peluang
bagi ekspresi individual secara lebih transparan. Bahkan, secara sosial
pun setiap individu tidak ditabukan untuk mengungkapkan perasaan,
keinginan atau kehendaknya.
Bila
kita hendak memahami persepsi, visi, maupun apresiasi, terhadap sosok
Madura — masyarakat dannilai-nilai sosbudnya — hasilnya akan menjadi
lebih proporsional dan lebih objektif. Pengungkapan perasaan, keinginan,
kehendak, dan semacamnya, akan makin memperlihatkan sosok Madura asli
bila menyangkut masalah harga diri.
Karena, bagi orang Madura, harga diri memiliki makna dimensi
sosio-kultural yang berkaitan erat dengan posisi dirinya dalam struktur
sosial. Posisi sosio-kultural ini menentukan status serta peran-peran
diri orang Madura dalam kehidupan masyarakat. Kapasitas diri ini juga
mencakup berbagai jenis dimensi lain — pada tingkat praktis — tidak
cukup hanya disadari oleh yang bersangkutan.
Dalam
kaitan ini, pelecehan terhadap harga diri akan diartikan sekaligus
sebagai penghinaan terhadap kapasitas diri. Jika hal ini ini benar-benar
terjadi, orang Madura akan merasa tada’ ajina (seperti manusia
yang tak bermakna apa-apa, Red). Yang pada gilirannya muncul perasaan
malu, baik pada dirinya sendiri maupun pada lingkungan sosbud mereka.
Karena perasaan seperti itu, terlahir kondisi psiko-kultural serta
ekspresi reaktif secara spontan, baik pada tingkatan individual maupun
kolektif (keluarga, kampung, desa atau kesukuan).
Tak Mau Dilecehkan dan Dipermalukan
Menurut
Drs Fathur Rahman Saros SH, alumnus Unibang dan IAIN Surabaya yang
skripsinya mengungkapkan soal carok, cara orang Madura merespon amarah
biasanya berupa tindakan resistensi yang cenderung keras. Keputusan
perlu tidaknya menggunakan kekerasan fisik dalam tindakan resistensi ini
sangat tergantung pada tingkat pelecehan yang mereka rasakan.
Pada tingkat ekstrim, jika perlu mereka bersedia mengorbankan nyawa. Sikap dan perilaku ini tercermin dalam sebuah ungkapan: Ango’an Poteya Tolang, Etembhang Poteya Mata (artinya, kematian lebih dikehendaki daripada harus hidup dengan menanggung perasaan malu). Sebaliknya, jika harga diri orang Madura dihargai sebagaimana mestinya, sudah dapat dipastikan mereka akan menunjukkan sikap dan perilaku andhap asor.
Mereka
akan amat ramah, sopan, hormat dan rendah hati. Bahkan, secara
kualitatif tidak jarang justru bisa lebih daripada itu. Contohnya, ada
ungkapan, oreng dadi taretan (artinya, orang lain yang
tidak punya hubungan apa-apa akan diperlakukan layaknya saudara
sendiri). Suatu sikap dan perilaku kultural yang selama ini kurang
dipahami oleh orang luar.
Jadi, soal
carok itu bukanlah suatu kebiasaan atau budaya struktural. Sebab,belum
tentu seorang yang dulu jagoan dan dikenal suka carok, lalu turunannya
otomatis juga carok. yang jelas, carok itu,menurut saya lebih didominasi
pada masalah harga diri. Misalnya, menyangkut soal pagar ayu, ujar
Fathur yang namanya di Bangkalan cukup dikenal dengan panggilan Jimhur
ini.
Jimhur lebih rinci mengatakan, carok itu bisa terjadi kepada siapa saja. Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi
atau menganut garis turunan, tapi kalau menyangkut harga diri,martabat
keluarga yang dilecehkan, maka carok bisa jadi cara terbaik untuk
menyelesaikan.
Contohnya, ada satu
keluarga yang tidak carok, namun suatu ketika kepala keluarga itu tewas
gara-gara dicarok. Hampir bisadipastikan sang anak ketika kejadian masih
kecil, pada saat dewasa akan melakukan perhitungan dengansi pembunuh
orangtuanya.
Apa yang dilakukan si
anak yang sudah dewasa itu bukanlah sikap balas dendam. Tetapi,
merupakan pembelaan atas nama keluarga. Hal sepertiini bisa terjadi
sampai mengakar. Karena itu, jangan heran, kalau mendengar cerita carok
yang terjadi antar keluarga secara berkepanjangan, ujar Jimhur.
Hal
seperti itu, lanjut Jimhur, pernah terjadi beberapa waktu lalu, yang
sampai melibatkan antar keluarga dan kampung. Bahkan untuk mendamaikan,
agar tak terjadi carokmassal, Pak Noer — H Mohammad Noer, mantan
Gubernur Jatim yang juga sesepuh Madura — turun tangan langsung.
Alhamdulillah,akhirnya terselesaikan, tutur tokoh muda yang tinggal di
kawasan jalan HOS Cokroaminoto ini.
Jadi,
masalah carok ini bukanlah kultur Madura. Carok, katadia lebih pas
kalau dikatakan merupakan cerminan sikap pelakunya yang menjaga harga
diri dan tak mau dilecehkan atau dipermalukan.
Berdasar
catatan Jawa Pos, beberapa bulanterakhir ini di Sampang dan Bangkalan
memang sering terjadi kasus pembunuhan. Ada Kades dibunuh warganya
lantaran anaknya dikawinkan dengan pria lain, ada juga lantaran balas
dendam, seperti pembunuhan terhadap Mat Sawi, 16 tahun, remaja asal Desa
Serambeh, Kecamatan Proppo, Pamekasan.
Madholi
nekat membunuh korban, karena Pak Sin, ayahnya, 20 tahun lalu, dibunuh H
Wahab yang juga kakek Mat Sawi. Kasus pembunuhan seperti ini biasanya
orang awam mengatakan korban mati dicarok. Padahal, menurut Drs Suroso
dari LP3M (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Madura), pengertian itu
amat menyimpang dari arti dan makna carok.
Sebab,
kata dia, arti carok itu sendiriadalah persambungan diri sebagai
komunikasi akhir dengan mempergunakan senjata tajam yang berupaya
menjatuhkan lawan masing-masing untuk merebutkan sosial prestise sabagai
imbalan dari simpanan tekanan perasaan yang dimiliki masing-masing
pelaku. ”Jadi carok itu perkelahian satu lawan satu atau kelompok lawan
kelompok. Waktunya direncanakan bersama dan membawa senjata serta tidak
ada wasit,” katanya.
Mengapa mereka
melakukan carok? Menurut Suroso, masyarakat Madura mempunyai pandangan
adat bahwa carok itu lambang kepahlawanan dan kebanggaan. ”Pelaku carok
bermaksud menghilangkan aib akibat pola tingkah laku seseorang yang
mungkin dianggap mencemarkan martabat harga diri keluarga dan pribadi,”
katanya. (fim/ika)
Jawa Pos 24-25 Desember 1997
0 komentar:
Posting Komentar